Jumat, 06 Maret 2015

Di balik hukuman mati

Terpidana mati itu mengirim surat cinta yang jleb. Cinta memang indah, cinta memang ajaib.

Senin, 23 Februari 2015

Mengurangi korupsi

Jakarta, GATRAnews - Dari 70-an lembaga negara berstatus pelengkap (auxiliary body) yang masih ada hingga kini, tak pelak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan yang paling kontroversial. Sejak berdiri 10 tahun lalu, KPK tak pernah sepi dari berita miring.


Kini, terkait dengan penersangkaan Budi Gunawan yang berbuntut panjang, KPK kembali menjadi buah bibir. Langkah hukumnya ditengarai bermotif politik, yakni untuk menjegal pencalonan Budi Gunawan menjadi Kapolri. Betapapun keras para Komisioner KPK menepisnya, opini tak juga bergeser. Sama dengan tak bergesernya opini negatif terhadap Bareskrim Polri yang mentersangkakan hampir semua Komisioner KPK.


Pada saat hakim sidang pra-peradilan mengabulkan hampir semua permohonan Budi Gunawan, mulai dari menyatakan tidak sah status tersangka, demikian pula menyatakan tidak sah surat perintah penyidikan atas nama Budi Gunawan, maka sebetulnya terdapat makna simbolik akan eksistensi KPK.

Selain pecah telurnya apa yang diklaim sebagai 100% angka penghukuman, yang lebih dalam dari itu adalah indikasi telah gagalnya proyek bernama KPK.

Mengapa proyek KPK dikatakan gagal? Terdapat beberapa penjelasan sebagai berikut:
Pertama, berkaca pada UU yang mengatur KPK, maka terdapat tujuan yang jelas dari pembuat UU pada saat itu guna memberi KPK kewenangan yang luar biasa (extraordinary power). Tujuan itu adalah agar KPK secara cepat mampu mendobrak apa yang tidak bisa dilakukan oleh lembaga kepolisian dan lembaga kejaksaan. Maka, diciptakanlah kewenangan KPK yang besar dengan proses kerja yang tanpa "gigi mundur".

Selanjutnya, pada hal-hal yang bisa dilakukan oleh kedua lembaga itu (yang oleh UU diatur dengan pendekatan jumlah kerugian negara), maka KPK melakukan supervisi dan koordinasi. Begitu seterusnya, sehingga --secara perlahan-- kepolisian dan kejaksaan naik kapasitasnya guna mampu menyidik kasus dengan jumlah kerugian negara yang besar melalui kewenangan yang tidak sebesar KPK.

Terkait dengan tujuan ini, penulis berpendapat, pemuja KPK yang paling fanatik pun akan setuju bahwa KPK gagal mencapai tujuan ini. Alih-alih memperbesar kapasitas polisi dan jaksa menangani kasus korupsi, KPK malah asyik sendiri bermain di "panggung" kawasan Kuningan. Sementara itu, kedua lembaga binaannya habis dilecehkan. 

Kedua, seperti juga banyak disinyalir oleh pengamat yang masih bisa menganalisis dengan jernih, KPK gagal total menyangkut dimensi pencegahan. Kasus korupsi yang diungkap bukan hanya tak berkurang dari segi jumlah kerugian negara, melainkan juga semakin "wah" dari segi modus, motif, dan siapa yang menjadi pelakunya.

Mengenai hal ini, segera muncul kilah bahwa pencegahan korupsi bukan hanya urusan KPK. Itu benar. Seandainya juga muncul pernyataan bahwa penindakan korupsi juga bukan urusan KPK saja, maka tentu kita melihat situasi yang berimbang. Terdapat juga kemungkinan bahwa gagal totalnya dimensi pencegahan mengingat passion awak KPK memang lebih ke penindakan, yang memang marak dengan kilatan blitz dan lampu sorot kamera televisi.

Ketiga, putusan pra-peradilan dengan pemohon Budi Gunawan juga secara tidak langsung mengingatkan semua orang bahwa hukum acara yang menjadi ranah KPK ternyata bisa dipergunakan secara salah, atau lebih ironis lagi, bisa disalahgunakan.

Kewenangan yang sebenarnya antagonis dengan cara kerja sistem peradilan pidana, di mana kewenangan lidik, sidik, dan tuntut berada pada satu atap, dengan demikian, tidak selamanya lagi bisa dianggap sebagai pamungkas. Dengan kata lain, sudah seharusnyalah mulai detik ini hal itu diwaspadai sebagai jalan masuk bagi terjadinya suatu abuse of power.


Ada hal menarik saat sidang praperadilan Budi Gunawan, di mana seorang ahli yang dihadapkan KPK mengatakan bahwa lembaga itu memiliki kemampuan sebagai self-regulatory body, bahkan terhadap hal-hal yang sudah diatur oleh UU. Konteksnya adalah ketika KPK menghadirkan penyidik yang bukan berasal dari Polri, hal mana sudah ditentukan demikian oleh UU. 


Menyadari itu, pantaslah Presiden Jokowi sempat menyindir bahwa jangan ada yang merasa berada di atas hukum. Jika benar sindiran tersebut ditujukan kepada KPK, itu sebenarnya merupakan respons atas interpretasi yang terlalu pede dari awak KPK perihal kewenangannya.


Keempat, jika dikaitkan dengan kinerja penindakan, sebenarnya KPK tidak hebat-hebat amat. Apalagi jika dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan, yang mengalami situasi "dilepas kepalanya dipegang ekornya". Ada studi yang memperlihatkan bahwa dibandingkan dengan laporan yang masuk, kasus yang bisa diselesaikan oleh penyidik KPK dikaitkan dengan kewenangan yang besar dan anggaran unlimited, sebenarnya masih kalah dibanding kinerja penyidik Polri. 


Jika kasus yang dimulai dengan operasi tangkap tangan (OTT) juga dimasukkan sebagai kinerja, lebih sedikit lagi kasus yang dikonstruksikan oleh warga KPK sendiri. Hal ini mengingat, untuk melakukan OTT hampir selalu mengandalkan informasi masyarakat ataupun mengandalkan kegiatan penyadapan yang, sekali lagi, sulit dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.


Untuk diketahui, pernah ada komisioner KPK yang membanggakan hasil evaluasi lembaga independen dari luar negeri menyangkut keterjaminan mutu dan kinerja KPK yang memperoleh nilai excellent. Penulis berpendapat, alangkah baiknya jika profil kinerja yang baik itu juga ditularkan kepada dua lembaga binaannya, demikian juga kepada lembaga penegak hukum yang lain, dan bukan menjadi sesuatu yang self-acclamation.

 
Kelima, pola kerja KPK yang selalu mengikutsertakan publik, termasuk pula emosi publik, kini juga amat perlu dikritisi. Sebagaimana lazimnya publik tidak terlalu mudah menerima informasi yang kompleks dan bersifat paradoksal, maka itulah yang tampaknya dieksploitasi benar oleh KPK. Tentu saja, itu ada kaitannya pula dengan publik Indonesia yang geregetan melihat praktek korupsi yang tak habis-habisnya. 


Publik yang fanatik itulah yang selalu menjadi "benteng" KPK setiap kali ada keinginan melakukan koreksi atau revisi, antara lain dengan melemparkan isu pelemahan KPK. Isu lain: Save KPK! Publik yang sama pula yang menjadi pendukung habis-habisan saat dimunculkan ide seperti imunitas hukum bagi komisioner KPK.

Apabila ada kesalahan hukum yang diperbuat oleh KPK, baik yang bersifat formal maupun material, dan kebetulan diangkat oleh seorang pengamat misalnya, bukan tak mungkin pengamat itu yang dihujat dan memperoleh label "anti-KPK". Ini juga menjadi risiko penulis saat mempersiapkan tulisan ini. 

Singkat kata, amat boleh jadi, itu semua akan menimbulkan terjadinya kecenderungan corrupt power will corrupt absolutely.

Itulah lima hal yang menjadi argumen penulis saat menyatakan bahwa proyek KPK kini telah gagal. Dalam kaitan itu, seyogianya pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla menempuh strategi baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Apakah strategi itu?

Benarkah kita masih ingin mempertahankan proyek lama yang compang-camping seperti KPK? Ataukah pemerintah tetap mempertahankan lembaga KPK namun melakukan revitalisasi yang signifikan? Opsi yang lain, mungkinkah kepolisian dan kejaksaan bekerja seperti KPK saat lembaga anti-rasuah itu tidak ada lagi?

Terhadap upaya mempertahankan KPK, kelihatannya arah pemerintah amat jelas, yakni ingin segera mengganti komisioner yang ada sekarang dengan orang-orang baru. Diharapkan, tentunya, mereka sama saja kritisnya namun mau bekerja dalam irama yang sama dengan pemerintah. Tidak seperti sekarang, di mana KPK lebih dilihat sebagai momok yang tidak dimengerti, bahkan ditakuti, oleh banyak pihak di dalam pemerintahan sendiri.

Terhadap upaya merevitalisasi KPK, prosesnya harus dimulai dari adanya lembaga yang dilemahkan, disuruh minggir atau diberi "mainan" baru. Jika seperti sekarang, setiap kali pula KPK akan bentrok dengan kepolisian dan kejaksaan mengingat ketiganya bermain dengan kekuatan penuh dalam suatu kolam sempit. Niscaya akan ada pihak yang terpercik muka atau bahkan terlempar ke luar kolam. Masalahnya, mungkinkah kepolisian atau kejaksaan akan dipilih sebagai pihak yang dilemahkan demi, lagi-lagi, memberi ruang bagi KPK untuk bereksperimen?

Terhadap upaya melikuidasi KPK dan membiarkan kepolisian dan kejaksaan mengambil peran besar dalam rangka perang terhadap korupsi, kelihatannya skeptisisme masih besar. Ini tentu bukan kesalahan kepolisian dan kejaksaan saja, mengingat ada banyak pihak (khususnya pemerintah dan KPK sendiri) yang tak kunjung memberdayakan kedua lembaga itu, utamanya dari sisi kewenangan dan anggaran. 

Adrianus Meliala
Kriminolog FISIP UI, Komisioner Kompolnas
(ini merupakan pandangan pribadi Adrianus Meliala) 
[Kolom, Majalah GATRA, Beredar Kamis, 19 Februari 2015] 

Senin, 09 Februari 2015

Lupa membawa payung

Mungkin sudah bukan urusan telat atau tidak lagi, karena bisa sampai kantor saja sudah merupakan prestasi.

Itulah yang terjadi hari ini, ketika banjir kembali melanda ibukota.

Kamis, 08 Januari 2015