Jakarta, GATRAnews - Dari 70-an lembaga negara
berstatus pelengkap (auxiliary body) yang masih ada hingga kini, tak
pelak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan yang paling
kontroversial. Sejak berdiri 10 tahun lalu, KPK tak pernah sepi dari
berita miring.
Kini, terkait dengan penersangkaan Budi Gunawan yang berbuntut
panjang, KPK kembali menjadi buah bibir. Langkah hukumnya ditengarai
bermotif politik, yakni untuk menjegal pencalonan Budi Gunawan menjadi
Kapolri. Betapapun keras para Komisioner KPK menepisnya, opini tak juga
bergeser. Sama dengan tak bergesernya opini negatif terhadap Bareskrim
Polri yang mentersangkakan hampir semua Komisioner KPK.
Pada saat hakim sidang pra-peradilan mengabulkan hampir semua
permohonan Budi Gunawan, mulai dari menyatakan tidak sah status
tersangka, demikian pula menyatakan tidak sah surat perintah penyidikan
atas nama Budi Gunawan, maka sebetulnya terdapat makna simbolik akan
eksistensi KPK.
Selain pecah telurnya apa yang diklaim sebagai 100% angka
penghukuman, yang lebih dalam dari itu adalah indikasi telah gagalnya
proyek bernama KPK.
Mengapa proyek KPK dikatakan gagal? Terdapat beberapa penjelasan sebagai berikut:
Pertama, berkaca pada UU yang mengatur KPK, maka terdapat tujuan yang
jelas dari pembuat UU pada saat itu guna memberi KPK kewenangan yang
luar biasa (extraordinary power). Tujuan itu adalah agar KPK
secara cepat mampu mendobrak apa yang tidak bisa dilakukan oleh lembaga
kepolisian dan lembaga kejaksaan. Maka, diciptakanlah kewenangan KPK
yang besar dengan proses kerja yang tanpa "gigi mundur".
Selanjutnya, pada hal-hal yang bisa dilakukan oleh kedua lembaga
itu (yang oleh UU diatur dengan pendekatan jumlah kerugian negara), maka
KPK melakukan supervisi dan koordinasi. Begitu seterusnya, sehingga
--secara perlahan-- kepolisian dan kejaksaan naik kapasitasnya guna
mampu menyidik kasus dengan jumlah kerugian negara yang besar melalui
kewenangan yang tidak sebesar KPK.
Terkait dengan tujuan ini, penulis berpendapat, pemuja KPK yang
paling fanatik pun akan setuju bahwa KPK gagal mencapai tujuan ini.
Alih-alih memperbesar kapasitas polisi dan jaksa menangani kasus
korupsi, KPK malah asyik sendiri bermain di "panggung" kawasan Kuningan.
Sementara itu, kedua lembaga binaannya habis dilecehkan.
Kedua, seperti juga banyak disinyalir oleh pengamat yang masih bisa
menganalisis dengan jernih, KPK gagal total menyangkut dimensi
pencegahan. Kasus korupsi yang diungkap bukan hanya tak berkurang dari
segi jumlah kerugian negara, melainkan juga semakin "wah" dari segi
modus, motif, dan siapa yang menjadi pelakunya.
Mengenai hal ini, segera muncul kilah bahwa pencegahan korupsi bukan
hanya urusan KPK. Itu benar. Seandainya juga muncul pernyataan bahwa
penindakan korupsi juga bukan urusan KPK saja, maka tentu kita melihat
situasi yang berimbang. Terdapat juga kemungkinan bahwa gagal totalnya
dimensi pencegahan mengingat passion awak KPK memang lebih ke penindakan, yang memang marak dengan kilatan blitz dan lampu sorot kamera televisi.
Ketiga, putusan pra-peradilan dengan pemohon Budi Gunawan juga secara
tidak langsung mengingatkan semua orang bahwa hukum acara yang menjadi
ranah KPK ternyata bisa dipergunakan secara salah, atau lebih ironis
lagi, bisa disalahgunakan.
Kewenangan yang sebenarnya antagonis dengan cara kerja sistem
peradilan pidana, di mana kewenangan lidik, sidik, dan tuntut berada
pada satu atap, dengan demikian, tidak selamanya lagi bisa dianggap
sebagai pamungkas. Dengan kata lain, sudah seharusnyalah mulai detik ini
hal itu diwaspadai sebagai jalan masuk bagi terjadinya suatu abuse of power.
Ada hal menarik saat sidang praperadilan Budi Gunawan, di mana
seorang ahli yang dihadapkan KPK mengatakan bahwa lembaga itu memiliki
kemampuan sebagai self-regulatory body, bahkan terhadap hal-hal
yang sudah diatur oleh UU. Konteksnya adalah ketika KPK menghadirkan
penyidik yang bukan berasal dari Polri, hal mana sudah ditentukan
demikian oleh UU.
Menyadari itu, pantaslah Presiden Jokowi sempat menyindir bahwa
jangan ada yang merasa berada di atas hukum. Jika benar sindiran
tersebut ditujukan kepada KPK, itu sebenarnya merupakan respons atas
interpretasi yang terlalu pede dari awak KPK perihal kewenangannya.
Keempat, jika dikaitkan dengan kinerja penindakan, sebenarnya KPK
tidak hebat-hebat amat. Apalagi jika dibandingkan dengan kepolisian dan
kejaksaan, yang mengalami situasi "dilepas kepalanya dipegang ekornya".
Ada studi yang memperlihatkan bahwa dibandingkan dengan laporan yang
masuk, kasus yang bisa diselesaikan oleh penyidik KPK dikaitkan dengan
kewenangan yang besar dan anggaran unlimited, sebenarnya masih kalah dibanding kinerja penyidik Polri.
Jika kasus yang dimulai dengan operasi tangkap tangan (OTT) juga
dimasukkan sebagai kinerja, lebih sedikit lagi kasus yang
dikonstruksikan oleh warga KPK sendiri. Hal ini mengingat, untuk
melakukan OTT hampir selalu mengandalkan informasi masyarakat ataupun
mengandalkan kegiatan penyadapan yang, sekali lagi, sulit
dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.
Untuk diketahui, pernah ada komisioner KPK yang membanggakan
hasil evaluasi lembaga independen dari luar negeri menyangkut
keterjaminan mutu dan kinerja KPK yang memperoleh nilai excellent.
Penulis berpendapat, alangkah baiknya jika profil kinerja yang baik itu
juga ditularkan kepada dua lembaga binaannya, demikian juga kepada
lembaga penegak hukum yang lain, dan bukan menjadi sesuatu yang self-acclamation.
Kelima, pola kerja KPK yang selalu mengikutsertakan publik,
termasuk pula emosi publik, kini juga amat perlu dikritisi. Sebagaimana
lazimnya publik tidak terlalu mudah menerima informasi yang kompleks dan
bersifat paradoksal, maka itulah yang tampaknya dieksploitasi benar
oleh KPK. Tentu saja, itu ada kaitannya pula dengan publik Indonesia
yang geregetan melihat praktek korupsi yang tak habis-habisnya.
Publik yang fanatik itulah yang selalu menjadi "benteng" KPK
setiap kali ada keinginan melakukan koreksi atau revisi, antara lain
dengan melemparkan isu pelemahan KPK. Isu lain: Save KPK! Publik yang
sama pula yang menjadi pendukung habis-habisan saat dimunculkan ide
seperti imunitas hukum bagi komisioner KPK.
Apabila ada kesalahan hukum yang diperbuat oleh KPK, baik yang
bersifat formal maupun material, dan kebetulan diangkat oleh seorang
pengamat misalnya, bukan tak mungkin pengamat itu yang dihujat dan
memperoleh label "anti-KPK". Ini juga menjadi risiko penulis saat
mempersiapkan tulisan ini.
Singkat kata, amat boleh jadi, itu semua akan menimbulkan terjadinya kecenderungan corrupt power will corrupt absolutely.
Itulah lima hal yang menjadi argumen penulis saat menyatakan bahwa
proyek KPK kini telah gagal. Dalam kaitan itu, seyogianya pemerintah
Jokowi-Jusuf Kalla menempuh strategi baru dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia. Apakah strategi itu?
Benarkah kita masih ingin mempertahankan proyek lama yang
compang-camping seperti KPK? Ataukah pemerintah tetap mempertahankan
lembaga KPK namun melakukan revitalisasi yang signifikan? Opsi yang
lain, mungkinkah kepolisian dan kejaksaan bekerja seperti KPK saat
lembaga anti-rasuah itu tidak ada lagi?
Terhadap upaya mempertahankan KPK, kelihatannya arah pemerintah amat
jelas, yakni ingin segera mengganti komisioner yang ada sekarang dengan
orang-orang baru. Diharapkan, tentunya, mereka sama saja kritisnya namun
mau bekerja dalam irama yang sama dengan pemerintah. Tidak seperti
sekarang, di mana KPK lebih dilihat sebagai momok yang tidak dimengerti,
bahkan ditakuti, oleh banyak pihak di dalam pemerintahan sendiri.
Terhadap upaya merevitalisasi KPK, prosesnya harus dimulai dari
adanya lembaga yang dilemahkan, disuruh minggir atau diberi "mainan"
baru. Jika seperti sekarang, setiap kali pula KPK akan bentrok dengan
kepolisian dan kejaksaan mengingat ketiganya bermain dengan kekuatan
penuh dalam suatu kolam sempit. Niscaya akan ada pihak yang terpercik
muka atau bahkan terlempar ke luar kolam. Masalahnya, mungkinkah
kepolisian atau kejaksaan akan dipilih sebagai pihak yang dilemahkan
demi, lagi-lagi, memberi ruang bagi KPK untuk bereksperimen?
Terhadap upaya melikuidasi KPK dan membiarkan kepolisian dan
kejaksaan mengambil peran besar dalam rangka perang terhadap korupsi,
kelihatannya skeptisisme masih besar. Ini tentu bukan kesalahan
kepolisian dan kejaksaan saja, mengingat ada banyak pihak (khususnya
pemerintah dan KPK sendiri) yang tak kunjung memberdayakan kedua lembaga
itu, utamanya dari sisi kewenangan dan anggaran.
Adrianus Meliala
Kriminolog FISIP UI, Komisioner Kompolnas
(ini merupakan pandangan pribadi Adrianus Meliala)
[Kolom, Majalah GATRA, Beredar Kamis, 19 Februari 2015]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar