Salah satu yang saya pelajari dari perkerjaan saya adalah keilmiahan. Apapun itu, mulai dari proses berpikir, berpendapat, apalagi ketika sudah menyangkut tugas kerja. Semua harus ilmiah. Lalu saya sedikit berpikir tentang hal-hal di luar pekerjaan saya. Saya berfikir tentang agama yang saya anut. Apakah ilmiah atau jangan-jangan tidak ilmiah?
Sebagai orang Islam, saya meyakini bahwa ada 2 sumber besar hukum atau syariat yang harus saya ikuti. Yang pertama adalah Al-Quran, dan yang kedua adalah Al-Hadits. Dan ternyata saya mendapati keduanya sangat ilmiah.
Di tulisan ini, saya mau sedikit berbagi tentang Al-Hadits. Bagi umat islam, pasti paham bahwa hadits adalah segala perkataan (sabda), perilaku dan ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun
hukum dalam agama Islam.
Namun secara umum pengertian Hadits Rasulullah SAW adalah catatan tentang:
1] Segala sesuatu yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW.
2] Segala sesutu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
3] Perkataan atau perilaku Sahabat yang disetujui atau didiamkan saja oleh Nabi Muhammad SAW.
4] Perkataan atau perilaku Sahabat yang dilarang atau dikomentari negatif oleh Nabi Muhammad SAW.
Lalu di manakah keilmiahan hadits yang saya maksud? Yaitu dalam keotentikan hadits itu atau yang sering kita dengar dengan derajat hadits.
Yang pertama, hadits bisa dilihat dari jumlah perawinya. Yaitu
1. Hadits Mutawatir
2. Hadits Ahad, terdiri dari: Hadits Shahih, Hasan, dan Dha’if.
Hadits Mutawatir adalah hadits Rasulullah SAW (catatan tentang sesuatu hal yang dikatakan
atau dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, HANYA oleh dan dari
Beliau SAW, dan TIDAK SELAIN Beliau SAW ) yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca
indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu
juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan
dan (menyampaikannya) dengan kalimat bernada pasti. [Sifat kalimatnya
Qath'iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan) ].
[2]. Sandaran penyampaiannya kepada sesuatu yang konkret, yaitu
perawinya menyaksikan secara langsung dengan matanya sendiri bahwa hal
itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, atau mendengar secara
langsung dengan telinganya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan
oleh Rasulullah SAW, seperti misalnya:
“sami’tu” = aku mendengar
“sami’na” = kami mendengar
“roaitu” = aku melihat
“roainaa” = kami melihat
[3]. Bilangan (jumlah) perawinya banyak, sehingga menurut adat
kebiasaan mustahil mereka berdusta secara berjamaah dan bersama-sama.
Dan kesemuanya menyampaikan dengan nada kalimat yang bersifat Qath’iy
(pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan).
[4]. Bilangan Perawi yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal
sanad, pertengahan sampai akhir sanad. Rawi yang meriwayatkannya minimal
10 orang. Perawi2 tersebut terdapat pada semua generasi yang sama.
Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan
jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya, kalau ada suatu
hadits yang diberi derajat mutawatir itu diriwayatkan oleh 5 orang
sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 orang Tabi’in demikian
seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.
[Catatan: Apabila satu saja dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka TIDAK BISA digolongkan sebagai hadts mutawatir.]
Lalu hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak
mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah “Dhonniy”.
Sebelumnya para ulama ahli hadits membagi hadits Ahad menjadi dua
macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At Turmudzy
kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
Hadits Shahih: Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang
bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit
(kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan
hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi
hadits Shahih itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
I.B-1-a. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
I.B-1-b. Harus bersambung sanadnya
I.B-1-c Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
I.B-1-d Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
I.B-1-e Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
I.B-1-f Tidak cacat walaupun tersembunyi.
Hadits Hasan: Yaitu hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
Hadits Dha’if: Yaitu hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan
oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
Lalu ada juga hadits menurut kualitas periwayatannya.
1. Hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu’ atau Maushul.
2. Hadits yang terputus sanadnya, yaitu:
Hadits Mu’allaq: Yaitu hadits yang “tergantung”, yaitu hadits yang
permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir
sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha’if.
Hadits Mursal: Disebut juga hadits yang ”dikirim”, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
para Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan Sahabat yang
menerima hadits itu.
Hadits Mudallas: Disebut juga hadits yang ‘disembunyikan’ cacatnya. Yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada
cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya.
Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan
sanadnya.
Hadits Munqathi: Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain Sahabat dan Tabi’in.
Hadits Mu’dhol: Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh para Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in dari Nabi Muhammad
SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan Tabi’in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas.
Apabila BERTENTANGAN dengan ciri-ciri hadits Shahih maka bisa
dikategorikan termasuk hadits-hadits dha’if.
Juga ada hadits dha'if yang disebabkan 'cacat' perawi, yaitu:
Hadits Maudhu’. Yang berarti ‘yang dilarang’, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat
perawi yang pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi
hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut
hadits alias hadits palsu.
Hadits Matruk. Yang berarti ‘hadits yang ditinggalkan / diabaikan’, yaitu hadits yang
hanya diriwayatkan hanya oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu
pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu
adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits
alias hadits palsu.
Hadits Munkar. Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang
bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh perawi yang
dikenal terpercaya / jujur. Maka hadits semacam ini tidak boleh
digunakan, dan sebagai gantinya harus menggunakan hadits dengan topik
yang sama namun yang diriwayatkan oleh perawi lain yang dikenal
terpercaya / jujur.
Hadits Mu’allal. Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat, yaitu hadits yang
didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Al-Imam Ibnu Hajar
Al-Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik
tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa
disebut juga dengan hadits Ma’lul (yang dicacati) atau disebut juga
hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
Hadits Mudhthorib. Artinya hadits yang kacau, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang
perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) yang kacau atau tidak sama
dan berkontradiksi dengan yang dikompromikan.
Hadits Maqlub. Artinya hadits yang ‘terbalik’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang didalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau
sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
Hadits Munqalib. Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
Hadits Mudraj. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya
terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari
perawi sendiri atau lainnya, sehingga mengurangi kualitas keaslian
hadits tersebut, atau bahkan merubah pengertian dari hadits tersebut.
Hadits Syadz. Hadits yang ‘jarang’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
tsiqah (terpercaya), namun isinya bertentangan dengan hadits lain yang
diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya
pula. Demikian menurut mayoritas ulama Hijaz sehingga hadits syadz
jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits
disebut juga hadits Mahfudz.
Wah, betapa menariknya ilmu hadits ini. Ini baru luarnya saja, belum masuk ke dalamnya dan lebih detail lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar